Diduga Lawan Permendikbud, Kepala SMPN 1 Pulau Punjung Harus Bertanggung Jawab

banner 120x600

 

Dharmasraya — Dunia pendidikan kembali tercoreng. SMP Negeri 1 Pulau Punjung, salah satu sekolah negeri favorit di Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat, diduga terlibat dalam praktik pungutan liar (pungli) berkedok iuran komite. Ironisnya, siswa yang orang tuanya belum mampu membayar uang komite sebesar Rp180 ribu per anak malah ditolak menerima rapor.

Informasi ini terungkap dari pengakuan sejumlah wali murid yang kecewa dan merasa dipermalukan. Mereka menyebut pihak sekolah menahan rapor anak-anak mereka hanya karena belum melunasi pungutan tersebut.

“Saya malu sekali. Sudah datang jauh-jauh ambil rapor, tapi anak saya tidak bisa menerima karena saya belum bayar uang komite. Akhirnya saya pulang dulu cari uang,” ungkap seorang wali murid dengan nada geram, saat dihubungi Investigasi.News, Kamis (20/6).

Kasus ini memicu amarah publik, karena bertolak belakang dengan semangat pendidikan yang inklusif, adil, dan bebas diskriminasi. Dalam situasi ekonomi yang sulit, seharusnya sekolah memberi solusi, bukan menambah beban psikologis dan finansial pada keluarga siswa.

Lebih parah lagi, praktik ini diduga kuat melanggar hukum, khususnya Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah. Pasal 12 huruf (b) jelas melarang komite sekolah, baik perseorangan maupun kolektif, melakukan pungutan terhadap peserta didik atau orang tua/walinya. Apalagi dengan disertai sanksi administratif seperti penahanan rapor.

Jika dihitung secara kasar, dengan jumlah siswa ratusan orang, potensi dana yang terkumpul bisa mencapai puluhan juta rupiah. Pertanyaannya: Ke mana larinya uang tersebut? Siapa yang mengelola dan mengawasi? Apakah dana itu transparan dan bisa dipertanggungjawabkan?

Jika tidak, maka patut diduga praktik ini mengarah pada korupsi terselubung di lingkungan pendidikan.

Dinas Pendidikan Kabupaten Dharmasraya, Inspektorat, bahkan aparat penegak hukum harus bergerak cepat. Jangan biarkan praktik kotor seperti ini berlangsung di lembaga pendidikan negeri yang seharusnya menjadi tempat membentuk karakter dan moral anak bangsa.

Investigasi.News mendesak agar segera dilakukan inspeksi mendadak (sidak) ke SMPN 1 Pulau Punjung. Kepala sekolah harus dimintai pertanggungjawaban. Jika terbukti melanggar aturan, maka proses hukum harus ditegakkan — demi keadilan dan perlindungan terhadap hak-hak siswa.

Pendidikan bukan bisnis. Menahan rapor anak karena uang komite yang bahkan tidak diwajibkan negara, adalah bentuk pemerasan halus yang tak bermoral. Negara harus hadir dan memastikan tidak ada lagi anak bangsa yang dipermalukan hanya karena keluarganya miskin.

Ardhi Piliang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *